Kamis, 04 Oktober 2007

KEGIATAN ADVOKASI DALAM MERUBAH KEBIJAKAN PUBLIK DARI PERSPEKTIF PEMETAAN MODEL DWIDJOWIJOTO

KEGIATAN ADVOKASI

DALAM MERUBAH KEBIJAKAN PUBLIK

DARI PERSPEKTIF PEMETAAN MODEL DWIDJOWIJOTO

Hasil olahan seorang pelayan publik ”RIFITO – 9096”


I. Latar Belakang

Berbagai peristiwa yang terjadi di negara Indonesia disadari atau tidak seringkali merupakan dampak dari terbitnya berbagai keputusan pemerintah yang merupakan implementasi dari kebijakan negara. Peristiwa pembalakan hutan secara besar-besaran di Yamdena kepulauan maluku, oleh PT. Alam Nusa Segar (milik Liem Swie Liong), berbagai sengketa agraria mengenai hak-hak ulayat yang kerap terjadi di tanah air, peristiwa penolakan dwi fungsi ABRI oleh mayoritas kekuatan politik di Indonesia, peristiwa penolakan secara besar-besaran terhadap Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB), kontroversi Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi pemerintahan daerah merupakan sedikit contoh dari keputusan pemerintah yang berwujud suatu kebijakan dan menimbulkan masalah ketika di implementasikan.

Realita di atas senada dengan apa yang dikatakan oleh Solichin A Wahab (2005 : 1) bahwa peristiwa yang berlangsung di sekitar kita bukanlah terjadi secara alami atau sebagai sesuatu yang terjadi karena proses perkembangan yang normal. Berdasarkan berbagai contoh peristiwa yang telah diuraikan di awal maka kebijakan negaralah yang sesungguhnya telah memberikan warna terhadap timbulnya peristiwa tersebut. Dengan kata lain, kebijakan negaralah yang sebenarnya yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa-peristiwa yang ada disekitar kita sehingga kebijakan negara sedikit banyak telah mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari, baik kita sadari atau tidak, dimengerti atau tidak.

Sebenarnya kegiatan pemerintah dalam membuat suatu keputusan yang dituangkan dalam suatu kebijakan terdiri dari rangkaian proses yang panjang yaitu terdiri dari formulasi (perumusan) kebijakan, implementasi (pelaksanaan) kebijakan dan evaluasi kebijakan. Berbagai permasalahan bisa muncul ketika kebijakan diformulasikan, atau ketika diimplementasikan atau ketika ada kegiatan evaluasi dari kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah.

Karena kerapkali menimbulkan masalah dari suatu kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah maka kemudian timbullah apa yang dinamakan dengan upaya advokasi. Apa yang dimaksud dengan upaya advokasi? Bagaimana advokasi dilaksanakan? apa hubungannya dengan pembuatan kebijakan oleh pemerintah merupakan rangkaian pertanyaan yang akan penulis coba jelaskan pada bagian selanjutnya.

II. Advokasi dan Perubahan Kebijakan Publik

Upaya advokasi muncul ketika masyarakat yang menjadi suatu objek dari kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah tidak mau menerima atau merasa keberatan dengan adanya kebijakan tersebut. Alasan tidak mau menerima kibajakan bermacam-macam seperti merasa kepentingan atau kebutuhannya tidak terakomodasi dalam kebijakan tersebut, bisa juga karena dengan adanya kebijakan tersebut maka eksistensi masyarakat dapat terancam (contoh peristiwa pembalakan hutan secara besar-besaran oleh PT. Alam Nusa Segar). Hutan yang dibabat tanpa kontrol yang jelas dapat menyebabkan hutan menjadi gundul, lalu masyarakat setempat kehilangan mata pencahariannya dan bencana alam dapat timbul karena hutan yang gundul. Masyarakat bereaksi karena ketidaksetujuannya terhadap suatu kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka timbullah upaya advokasi.

Pengertian advokasi secara sederhana adalah sebagai kegiatan unjuk rasa atau demostrasi dan protes terhadap suatu kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. Dalam pengertian yang luas advokasi diartikan sebagai media mobilisasi pendapat umum, sarana menyampaikan pernyataan politik, proses pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat, alat perubahan sosial dan sebagainya. Sedangkan Organisasi Non Pemerintah (Ornop) mengartikan advokasi sebagai kegiatan beracara di pengadilan. Pengertian advokasi oleh Ornop ini karena terpengaruh oleh istilah dalam bahasa Belanda yaitu advocaat, advocateur (yang berarti pengacara, pembela) dan lazim digunakan selama ini.

Dari berbagai pengertian tentang advokasi di atas maka dapat dipahami secara umum bahwa advokasi merupakan upaya untuk memperbaiki atau merubah suatu kebijakan sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut. Artinya ketika masyarakat tidak setuju atas suatu kebijakan yang ditetapkan pemerintah dan ada keinginan atau upaya-upaya untuk merubah kebijakan tersebut maka masyarakat dikatakan telah melakukan upaya advokasi. Sehingga sasaran atau tujuan dari upaya advokasi adalah terjadinya perubahan kebijakan publik.

Perubahan kebijakan yang diinginkan masyarakat secara aplikatif dapat berupa : (1) usulan agar kebijakan yang telah dibuat dicabut atau dihentikan, (2) usulan agar kebijakan yang telah dibuat dirubah atau diganti dengan kebijakan yang sudah direvisi, (3) mengusulkan hal-hal yang perlu dirubah dalam kebijakan tersebut, (4) mengusulkan konsep tandingan untuk kebijakan yang telah dibuat tersebut.

Advokasi sebenarnya hanyalah salah satu dari perangkat sekaligus proses-proses demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu advokasi dapat dilakukan oleh warga negara untuk mengawasi dan melindungi kepetingan mereka dalam kaitannya dengan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah dalam suatu negara. Pengertian inilah yang harus dipahami secara benar untuk menghindari berkembangnya pengertian yang salah.

Para aktivis Organisasi Non Pemerintah masih sering menganggap advokasi adalah segala-galanya. Mereka menganggap bahwa advokasi identik dengan proses revolusi yaitu proses dimana dilakukan perubahan pada sistem dan struktur kemasyarakatan secara serentak dan holistik atau menyeluruh. Padahal sebenarnya advokasi hanyalah bertujuan merubah atau menyempurnakan atau bahkan membela suatu kebijakan publik tertentu.

Dari penjelasan tersebut sangat jelas perbedaan antara advokasi dengan proses revolusi. Proses revolusi pada hakekatnya memiliki tujuan merebut kekuasaan politik dan dengan kekuasaan politik itu melakukan perubahan menyeluruh sistem dan struktur kemasyarakatan. Sedangkan advokasi dilandasi pada anggapan bahwa perubahan sistem dan struktur kemasyarakatan yang lebih luas dan menyeluruh dapat dilakukan melalui perubahan-perubahan bertahap maju dan semakin membaik (gradual and incremental changes) dalam berbagai kebijakan pemerintah atau kebijakan publik.

Dalam konteks pembahasan upaya advokasi maka kebijakan publik diartikan sebagai suatu sistem pembuatan (formulasi), pelaksanaan (implementasi) dan pengendalian (control) keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Rangkaian sistem tersebut dibuat oleh pemerintah dan sejatinya sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan masyarakat luas. Karena kembali diingatkan bahwa objek dari kebijakan publik sebenarnya adalah masyarakat luas.

Memperhatikan pengertian dan tujuan dari upaya advokasi maka yang menjadi kekuatan upaya ini adalah kerangka analisis dari suatu kebijakan publik. Hal ini dipahami bahwa sebelum mengusulkan perubahan atau pencabutan atas kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah maka kebijakan tersebut harus dianalisis dahulu. Salah satu kerangka analisis yang berguna untuk melihat suatu kebijakan publik adalah dengan melihat kebijakan tersebut sebagai suatu ”sistem hukum” (system of law) yang terdiri dari :

  1. Isi Hukum (content of law), yaitu uraian atau penjabaran tertulis dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk perundang-undangan, peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pemerintah. Ada juga kebijakan-kebijakan yang lebih merupakan kesepakatan umum (konvensi) tidak tertulis, tetapi dalam hal ini kita lebih menitikberatkan perhatian pada naskah (text) hukum tertulis atau aspek tekstual dari sistem hukum yang berlaku.

b. Tata Laksana Hukum (structure of law), yaitu semua perangkat kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pegadilan, penjara, birokrasi pemerintahan, parpol dan sebagainya) serta para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara, pejabat pemerintah, anggota parlemen dan lain-lain)

c. Budaya Hukum (culture of law), yaitu persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran terhadap dua aspek sistem hukum di atas (isi dan tata laksana hukum). Dalam pengertian ini juga tercakup bentuk-bentuk tanggapan (reaksi atau respone), masyarakat luas terhadap pelaksanaan isi dan tata laksana hukum tersebut. Karena itu hal ini merupakan aspek kontekstual dari sistem hukum yang berlaku.

Sebagai suatu kesatuan sistem, ketiga aspek hukum tersebut saling terkait antara satu sama lain dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Oleh karena itu dikatakan bahwa idealnya, suatu kegiatan atau program advokasi harus juga mencakup sasaran perubahan ketiganya. Mengapa dikatakan demikian? Karena dalam kenyataannya, perubahan yang terjadi pada salah satu aspek saja tidak dengan serta merta membawa perubaan pada aspek lainnya. Perubahan suatu naskah undang-undang atau peraturan pemerintah, tidak dengan sendirinya merubah mekanisme kerja lembaga atau aparat pelaksananya. Banyak contoh selama ini dengan jelas menunjukkan bahwa naskah undang-undang atau peraturan pemerintah yang betapapun baiknya secara normatif apabila tidak didukung oleh kesiapan perangkat kelembagaan atau aparat pelaksana yang memadai maka pada akhirnya hanya akan tersisa sebagai retorika murni belaka.

Begitu juga dengan budaya hukum. Suatu naskah hukum katakanlah sudah ada dan memenuhi semua tuntutan normatif yang diperlukan, tersedia juga perangkat kelembagaan dan aparat pelaksana yang handal dan terpercaya. Tetapi sikap dan perilaku masyarakat kadangkala justru tidak mendukung isi maupun tata laksana hukum tersebut, akibatnya maka peraturan dalam bentuk suatu kebijakan tersebut akan menjadi sia-sia belaka. Contoh dari kasus tersebut adalah adanya aturan tentang larangan untuk merokok di sembarang tempat yang berlaku di daerah Jakarta. Naskah aturan sudah ada dan memenuhi syarat normatif sebagai suatu Peraturan Daerah (Perda) kemudian aparat penegak Perda tersebut juga sudah siap, namun kembali lagi bahwa sikap dan perilaku masyarakat tidak mendukung tegaknya aturan yang menjadi kebijakan Pemeritah DKI Jakarta Tersebut. Akibatnya kebijakan untuk tidak merokok di sembarang tempat cenderung hanya menjadi slogan semata.

Sebaliknya juga demikian, tata laksana hukum yang berubah tidak secara otomatis merubah isi hukum yang berlaku. Itulah sebabnya maka timbul pendapat bahwa undang-undang atau peraturannya sudah bagus namun oknum-oknum pelaksananya yang tidak becus menegakkan undang-undang tersebut. Sama halnya denganbudaya hukum yang berubah, tidak secara otomatis merubah tata laksana maupun isi hukum yang sudah ada. Dalam banyak kasus, para aparat pelaksana hukum yang mencoba melakukan amanat hukum berdasarkan kata hati nurani dan rasa keadilan umum (budaya hukum), dalam istilah baku ilmu hukum disebut sebagai rechtmatigheid, melakukan suatu exclusion (perkecualian hukum), meskipun terpaksa harus menentang isi atau naskah hukum yang berlaku, justru sering atau bahkan selalu akhirnya berhadapan dengan kekakuan naskah hukum dan kepentingan politik kekuasaan dibaliknya.

Uraian diatas memperlihatkan bahwa sasaran perubahan terhadap suatu kebijakan publik seharusnya mencakup ketiga aspek hukum atau kebijakan tersebut. Ini sama artinya suatu kegiatan advokasi yang baik adalah yang secara sengaja dan sistematis memang dirancang untuk mendesakkan terjadinya suatu perubahan kebijakan baik dalam isi, tata laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Namun perubahan bisa saja terjadi tidak sekaligus pada ketiga aspek hukum tersebut, bisa juga perubahan terjadi secara bertahap mulai dari salah satu aspek hukum tersebut yang dianggap bisa sebagai titik tolak paling crucial, kemudian berlanjut ke aspek-aspek hukum selanjutnya. Intinya bahwa perubahan yang terjadi secara bertahap dan menyeluruh.

Analisis terhadap suatu kebijakan publik dengan perspektif tiga aspek hukum tersebut tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama. Upaya advokasi yang dilakukan harus berbeda pendekatannya dalam mengkaji tiga aspek hukum, karena ketiganya terbentuk dari proses-proses yang khas. Isi hukum dibentuk melalui proses-proses legislasi dan juridiksi, sementara tata laksana hukum dibentuk melalui proses-proses politik dan manajemen birokrasi, dan budaya hukum terbentuk melalui proses-proses sosialisasi dan mobilisasi. Tiap proses memiliki tata caranya sendiri. Secara garis besar, ketiga jenis proses itu dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Proses-proses legislasi dan juridiksi. Proses ini terdiri dari proses penyusunan suatu rancangan undang-undang atau peraturan (legal drafting) sesuai dengan konstitusi dan sistem ketatanegaraan yang berlaku di suatu negara. Mulai dari pengajuan gagasan atau usul dan tuntutan perlunya penyusunan undang-undang atau peraturan baru, perdebatan parlemen untuk membahas gagasan atau tuntutan tersebut, pembentukan kelompok kerja dalam kabinet dan parlemen, seminar akademik untuk penyusunan naskah awal (academic draft), penyajian naskah awal kepada pemerintah, pengajuan kembali ke parlemen, sampai pada akhirnya disepakati atau disetujui dalam pemungutan suara di parlemen. Pengertian proses legislasi dapat juga berarti : (1) prakarsa pengajuan rancangan tanding (counter draft legislationa). (2) pengujian substansi dan peninjauan ulang undang-undang (judicial review). (3) jurisprudensi (keputusan mahkamah peradilan yang memiliki kekuatan hukum sebagai preseden bagi keputusan-keputusan hukum berikutnya). Jurisprudensi termasuk dalam proses legislasi karena pada dasarnya jurisprudensi juga membentuk isi hukum, oleh karena itu proses-proses letigasi (beracara dipengadilan) masuk dalam pengertian ini juga.

b. Proses-proses politik dan birokrasi. Proses ini meliputi semua tahap formasi dan konsolidasi organisasi pemerintahan sebagai perangkat kelembagaan dan pelaksana kebijakan publik. Bagian terpenting dan paling menentukan dalam keseluruhan proses ini adalah seleksi, rekrutmen dan induksi para aparat pelaksana pada semua tingkatan birokrasi yang terbentuk. Karena itu, seluruh tahapan tersebut sangat diwarnai oleh proses-proses politik dan manajemen hubungan kepentingan-kepentingan di antara berbagai kelompok yang terlibat di dalamnya, mulai dari lobby, mediasi, negosiasi, tawar menawar, kolaborasi bahkan sampai pada praktek-praktek intrik, sindikasi, konspirasi dan manipulasi.

c. Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi. Proses ini meliputi semua bentuk kegiatan pembentukan kesadaran dan pendapat umum serta tekanan massa terorganisir. Kegiatan ini pada akhirnya akan membentuk suatu pola perilaku tertentu dalam mensikapi suatu masalah bersama. Karena itulah dikatakan bahwa proses-proses ini terwujud dalam berbagai bentuk tekanan politik (political pressure), mulai dari penggalangan pendapat dan dukungan (bisa berupa kampanye, debat umum, rangkaian diskusi dan seminar, pelatihan), pengorganisasian (pembentukan basis-basis massa dan konstituen, pendidikan politik kader), sampai ke tingkat pengerahan kekuatan (unjuk rasa, mogok, boikot, blokade).

Walaupun ketiga proses di atas mempunyai bentuk yang berbeda, namun tujuan akhir dari ketiga proses itu adalah sama yaitu dalam rangka merubah suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Masing-masing proses mempunyai domain kegiatan tersendiri. Ada pendapat bahwa suatu kegiatan advokasi, walaupun sasarannya adalah perubahan kebijakan publik sebagai bagian dari sistem hukum, namun tidak berarti hanya dapat dilakukan melalui jalur-jalur legal (proses-proses legislasi dan jurisdiksi) saja, melainkan juga dapat ditempuh melalui jalur-jalur paralegal (proses-proses politik dan birokrasi serta proses-proses sosialisasi dan mobilisasi).

III. Upaya Advokasi Dalam Pemetaan Model Dwidjowijoto

Upaya advokasi muncul sebagai reaksi atas sebuah kebijakan publik yang telah diputuskan oleh pemerintah. Reaksi yang dimaksud disini sudah barang tentu reaksi ketidaksepakatan atas kebijakan publik tersebut. Ketidaksepakatan itu sendiri muncul karena masyarakat merasa bahwa kebijakan publik yang telah diputuskan tidak berpihak kepada masyarakat bahkan cenderung merugikan (lihat lagi beberapa contoh yang telah dikemukan pada bagian satu dalam tulisan ini). Padahal kebijakan publik itu seharusnya berorientasi kepada publik. Dengan arti lain bahwa suatu kebijakan publik harus dapat mengakomodir berbagai kepentingan atau kebutuhan masyarakat.

Setelah memperhatikan pengertian advokasi, kemudian memperhatikan apa yang menjadi sasaran atau tujuan dari advokasi serta setelah mengetahui proses kegiatan yang dilakukan dalam upaya advokasi maka penulis berpendapat bahwa upaya advokasi pada dasarnya adalah untuk menyeimbangkan suatu kebijakan publik. Untuk menjelaskan hal ini maka penulis mencoba meminjam pemetaan model Dwidjowijoto sebagai berikut :

Top - Down

Mekanisme paksa Mekanisme kebutuhan

Dari pemerintah masyarakat/pasar




Bottom – up

Lingkaran merah diibaratkan sebagai posisi kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam menerapkan suatu kebijakan publik, pemerintah hanya memperhatikan aspek top – down saja. Artinya kebijakan publik yang dibuat hanya mengakomodasi kepentingan pemerintah saja atau katankanlah hanya mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan suatu kelompok tertentu saja, misalnya keluarnya kebijakan pemerintah berupa keputusan pemberian ijin mengelola hutan (HPH) di Yamdena kepulauan Maluku oleh PT. Alam Nusa Segar (milik Liem Swie Liong). Kebijakan publik tersebut tentu saja ditentang oleh masyarakat luas selaku objek dari ditetapkannya kebijakan tersebut, karena kebijakan yang ada malah merugikan dan tidak berpihak kepada masyarakat. Berdasarkan pemetaan di atas juga tergambar bahwa dalam memutuskan kebijakan tersebut pemerintah hanya memperhatikan mekanisme paksa. Artinya kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah mau tidak mau masyarakat harus menerimanya atau menjalankannya. Akibatnya masyarakat merasa tertekan dan dirugikan sehingga timbulah reaksi advokasi.

Lingkaran kuning dalam peta saya ibaratkan sebagai bentuk kebijakan publik yang diinginkan oleh masyarakat. Masyarakat mengharapkan suatu kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah merupakan suatu kebijakan yang berpihak kepada masyarakat. Artinya kebutuhan dan kepentingan masyarakat dan pemerintah dapat terakomodasi. Implementasi kebijakan tersebut juga tidak hanya bersifat memaksa dari pemerintah sebagai suatu aturan yang harus dipatuhi dan bersifat memaksa tetapi juga berpihak pada mekanisme kebutuhan masyarakat. Namun menjadi suatu hal yang wajar ketika masyaralat menyampaikan keinginannya pasti berharap semua kebutuhan dan kepentingannya terakomodasi tanpa mau memperhatikan kepentingan pemerintah. Oleh karena itu saya meletakkannya pada peta di posisi bawah dimana lebih bersifat bottom – up saja.

Lalu bagaimana dengan lingkaran hijau? Lingkaran hijau saya munculkan sebagai dampak adanya gap yang demikian lebar antara keinginan pemerintah dan kebutuhan masyarakat mengenai suatu kebijakan publik. Pada posisi inilah menurut saya upaya advokasi bermuara. Ini memang kondisi ideal yang sangat sulit untuk dicapai. Pada lingkaran hijau terjadi keseimbangan antara pendekatan top – down dengan pendekatan bottom – up serta ada keseimbangan antara mekanisme paksa dari pemerintah dengan mekanisme kebutuhan masyarakat.

Posisi lingkaran hijau dimana terjadi keseimbangan merupakan target dari upaya advokasi. Pemerintah tidak bisa sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat karena pemerintah pun punya agenda kepentingan tersendiri, demikian pula sebaliknya masyarakat tidak bisa ”keras kepala” bertahan memperjuangkan seluruh kepentingan dan kebutuhannya tanpa memperhatikan adanya kepentingan dari pemerintah. Oleh karena itu merubah suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh pemerintah melaui upaya advokasi bisa dikatakan lebih kepada pendekatan win – win solution. Posisi ideal ini berarti mencakup keseluruhan rangkaian pembuatan suatu kebijakan publik, yang dimulai dari proses formulasi kebijakan kemudian dilanjutkan dengan implementasi dari kebijakan tersebut dan terakhir adalah proses kontrol atau evaluasi dari pelaksanaan kebijakan tersebut.

IV. Kesimpulan

Maraknya penentangan atau penolakan suatu kebijakan publik yang telah diputuskan oleh pemerintah adalah sebagai akibat tidak adanya keseimbangan baik dalam formulasi maupun implementasinya. Keseimbangan yang dimaksud adalah kebijakan publik tersebut tidak dapat mengakomodasi apa yang menjadi kepentingan pemerintah dan juga tidak dapat mengakomodasi apa yang menjadi kebutuhan atau kepentingan masyarakat. Dua pihak ini harus diperhatikan eksistensinya karena memang kedua pihak inilah yang menjadi domain berlakunya suatu kebijakan publik.

Pemerintah tidak bisa menutup mata dalam arti tidak memperhatikan dampak dari diberlakukannya suatu kebijakan publik. Demikian juga dengan masyarakat tidak bisa terlalu memaksakan apa yang menjadi keinginan atau kebutuhannya dimasukkan dalam penyusunan suatu kebijakan publik. Untuk mencapai kondisi ideal inilah sehingga muncul apa yang dinamakan upaya advokasi. Upaya advokasi dilakukan dalam rangka meniadakan gap tersebut, setidaknya mengurangi, karena memang untuk mencapai kondisi ideal seperti posisi lingkaran hijau sangat sulit. Hal ini disebabkan banyaknya persinggungan kepentingan.

Sasaran akhir dari upaya advokasi adalah merubah suatu kebijakan publik yang tidak berpihak kepada masyarakat dengan mengajukan beberapa alternatif-alternatif perubahan. Substansi perubahan atas suatu kebijakan publik tersebut bersifat flexibel. Artinya upaya advokasi mengusulkan perubahan suatu kebijakan bisa dalam bentuk usulan agar kebijakan publik yang dibuat dapat dirubah atau direvisi, bisa juga dalam bentuk usulan agar kebijakan publik tersebut diganti dengan rumusan yang baru atau bisa juga usulan yang diajukan berupa pembuatan konsep tandingan dari suatu konsep kebijakan publik yang berasal dari pemerintah.

Berdasarkan uraian panjang lebar pada tulisan ini, sekali lagi saya ingin berpendapat bahwa upaya advokasi pada intinya adalah proses penyeimbangan antara kebutuhan dan kepentingan kedua pihak yang terkait dalam kebijakan publik yaitu pemerintah dan masyarakat. Secara aplikatif berarti proses penyeimbangan pada tataran formulasi dan implementasi serta kontrol suatu kebijakan publik.

Referensi

1. “Merubah Kebijakan Publik”, penyunting Roem Topatimasang, Mansour Fakih, Toto Rahardjo.

2. “Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang”, Riant Nugroho, Penerbit PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2006.

3. ”Public Policy ; Pengantar Teori dan praktik Analisis Kebijakan”, Wayne Parson, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006.

4. ”Analisis Kebijakan Publik”, Edi Suharto, Penerbit CV. Alfa Beta, Bandung, 2006.

5. ”Dasar-dasar Kebijakan Publik”, Leo Agustino, Penerbit CV. Alfa Beta, Bandung, 2006.

6. “Analisis Kebijaksanaan ; dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara”, Solichin Abdul Wahab, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 2005.

7. “Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara”, M. Irfan Islamy, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 2004.



Minggu, 30 September 2007

IMPLEMENTASI MERIT SYSTEM DALAM PEMBINAAN KARIER KARYAWAN

Sudah saatnya berbagai institusi publik melakukan pembenahan dalam sistem pembinaan karier karyawannya. Salah satu metode pembinaan karier yang saya ingin kemukakan adalah merit system. Pada intinya metode ini adalah menghargai prestasi yang telah dibuat oleh karyawan dalam suatu organisasi. Dengan prestasi yang dibuat, maka kariernya bisa menanjak dan berkembang, dan sebaliknya apabila ada karyawan yang tidak bisa berprestasi maka ada beberapa tahap penanganannya.
Konsekuensi dari penerapan merit system dalam suatu organisasi adalah harus ada standart kompetence atau tolak ukur kinerja dalam organisasi tersebut. tolak ukur kinerja itu harus dipenuhi oleh seorang karyawan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Aplikasinya, seorang karyawan harus tahu secara terperinci mengenai pekerjaannya. Tahu akan job descriptions nya, job specifications nya, target dari pekerjaannya dan bagaimana hasil penilaian akan kinerjanya. Dari rangkaian tersebut maka seorang karyawan akan tahu bagaimana kualitas kerjanya dan bagaimana penilaian pimpinan atas produktivitas kinerjanya.
Implementasi merit system dapat mewujudkan transparansi dalam pembinaan karier. selain itu akan terdapat kompetisi yang sehat diantara karyawan dalam organisasi tersebut, sehingga tidak akan ada lagi kesan like or dislike dalam mempromosikan seorang karyawan untuk menduduki suatu jabatan.